About me

Blog

04 November 2008

Saat Seni Lukis Pauhrizi Menyindir Oligargi dan Dinasti Baru Elit Politik Nasional

Tahukah kita, bahwa seni lukis menempati posisi puncak dalam piramida seni? Setidaknya begitu bunyi sebuah teori. Mengapa ? Karena seni lukis tak pernah mengambil wilayah gerak yang dimiliki seni lainnya. Dan tetap konsisten bekerja pada wilayah yang dimilikinya sendiri: wilayah dua dimensi.

Berbeda dengan seni tari, seni drama , seni musik, film atau wilayah tiga dimensi yang dimiliki seni patung. Masing-masing mereka, masih punya sifat bergantung pada wilayah yang dimiliki kesenian lainnya. Seni tari misalnya, masih membutuhkan musik dan ruang untuk eksitensinya. Apalagi seni drama atau seni peran dalam filem, lebih banyak lagi wilayah seni lain yang diirisnya .

Nah, di wilayah inilah. Pauhrizi. Pelukis muda asal Bandung jebolan Fakultas Teknik UI yang kemudian berturut-turut melanjutkan belajar di ITB dan Boras University Sweden tersebut mencoba permainkan media dua dimensi: Melukis dengan detail seolah sebuah karya fotografi. Memotret dengan gaya kanvasing ala lukisan. Dan menyulam seperti karya foto atau karya lukis.

Kali ini, mengusung tema penghilangkan identitas obyek foto, lukis ataupun sulam. Dengan cara apa? Dengan cara menghilangkan wajah, sebagian mata, atau penanda lain yang membuat sebuah obyek 'sulit dikenali identitas obyek yang dipindahkan ke media kanvas'.

Itulah yang saya tangkap dari pameran tunggal pelukis bernama lengkap Erik Muhammad Pauhrizi di "galeri seni Yaitu" Selama pameran tunggal untuk melengkapi tour-nya selama ini. Tour yang telah menjamah galeri seni di Singapore, Tokyo, Sweden, United Kingdom, New Zeland, Australia dan Korea Selatan beberapa tahun lalu.

Namun. Yang membuat saya kagum adalah relevansi tema lukisan yang sangat mengena dengan situasi indonesia kekinian. Jebakan tema yang dikurasi oleh
Heru Hidayat tersebut memaksa saya untuk makin tajam menyorot perilaku elitis sekelompok masyarakat yang saat ini menempati wilayah tertinggi dalam piramida sosial kita.

Lihat saja bagaimana kelompok ini mulai membentuk oligarki baru di wilayah politik. Menghadang peserta baru (baca: partai baru, atau Capres-Cawapres baru) dengan membuat plafon tinggi dalam UU Pilpres. Sehingga akan sangat sulit dicapai partai baru atau kandidat baru. Karena harus mengumpulkan 20 % suara. Atau setara dengan 34.882.000 suara. Sebuah jumlah yang berat untuk dicapai partai menengah sekalipun. Apalagi partai baru

Belum cukup itu saja. Petinggi partaipun berlomba membangun politik dinasti. Lihat catatan KPU yang telah mengeluarkan Daftar Calon Tetap. Maka kita akan menemukan daftar "Darah Biru Petinggi Partai" bertebaran nangkring di posisi Caleg. Ada Mumtaz 'Amin' Rais,Puan 'Megawati' Maharani,Dave 'Agung' Laksono. SBY tentu tak mau ketinggalan. Segera melepas tiga 'anggota dinasti-nya'. Masing-masing Edhie Baskoro Yudhoyono, Nurcahyo 'Hadi Utomo'Anggoro, dan Hartanto 'Adik Anie'Edhie Wibowo.Nama terakhir ini (menurut catatan Tempo) terlibat urusan kasus Blue Energy dan Padi Super Toy.

*****
Sebuah paradok memang. Belum terlalu kering jasad Suharto yang membawa 'rekaman caci maki' sebagai Bapak Nepotisme. Nampaknya para penyambung lidah reformasi ini sudah meniru perilaku orang yang dicaci-makinya. Membangun Nepotisme baru.

Benar kata seorang teman alumni Leiden, yang juga salah satu putra Pengasuh Pesantren Gontor saat itu:"Suharto butuh waktu 30 tahun untuk membangun keberanian dalam membentuk dinasti politik. Tapi Presiden sekarang hanya butuh waktu 4 tahun. Bahkan kurang dari itu, sudah terang-terangan membangun Dinasti Politik". Wew...)

Tiba-tiba saya jadi teringat bagaimana marahnya Mar'ie Muhammad yang saat itu Menteri Keuangan, saat melihat istrinya menggunakan mobil dinas untuk urusan Dharma Wanita. Atau Kwik Kian Gie yang membentak anaknya yang menemuinya di Kantor Kementrian tempatnya berkantor untuk urusan bisnis. Atau mendiang Kajagung legendaris ' Baharudin Lopa' yang samapai menampar muka sang anak karena menemuinya saat dia bekerja.

*****
Ah. Pauhrizi. Saya jadi tahu sekarang. Rupanya pesan itu yang ingin Anda sampaikan saat ngopi bareng seusai diskusi apresiasi di Rumah Seni Yaitu. Penggambaran yang pas. Termasuk tema penghilangan identitas diri. Pas untuk menyindir perilaku elitis petinggi kita yang selalu nyaris kehilangan ciri khas mukanya. Kadang Reformis. Kadang Nepotis. Kadang melankolis untuk menunjukkan empati. Kadang bengis saat menghabisi lawan politik. Seperti tak bermuka.















































58 comments:

mantan kyai said...

apakah ini karya lukis juga gus ??? monggo di apresiasi

Cebong Ipiet said...

politik? ruwet

Ananto said...

karya lukis untuk seni emg bagus banget,,tapi susah ya klo di paduin ama politik :D
btw,,klo ada,,bole liat hasil2 lukisannya dunk..

Mengenai Wirut said...

sering ganti muka ngga bedanya sama bunglon dong kang....hehehe....
ya itulah satu sisi wajah para petinggi kita...
kok ngga ngajak2 liat pamerannya kang ?

Qittun said...

Kasihan juga partai gurem.....

indungg said...

Negri nya kroni kroni pemjabat..
Yuk,kita buat kroni juga,....
buat apa?? partai blogger??

Erik said...

Apakah memang mesti seperti itu ya, perilaku politikus?
Mengikuti bunglon...

JALOE said...

wew keren suhu.. apa negri ini republik yg kerajaan yach

ipanks said...

udah jarang y om sosok menteri seperti yg om sebutkan diatas.huff

Anang said...

nepotisme ga akan pernah mati.. mau masuk pns aja musti saingan ma nepotisme

mascayo said...

seperti itu sifat dasar pemimpin apa raja ya gus?

h4rIsS said...

ini memang sifat dasar pemimpin yang sdh sakit jiwanya, hilang akal sehatnya, mati ruhaninya..

admin said...

politik itu tai kucing.....

"itu bang kata yang selalu saya ingat dari FILM GIE"

dee said...

lukisannya knp ga dipajang mas gus? biar lebih mengena.. klo sy, suka lukisan seorang pelukis.. dia biasanya mengambil objek manusia dengan mata seluruhnya hitam..

Kristina Dian Safitry said...

itu gambar kok kayaknya hasil jepretan ya? kalo hasil lukis, hebat banget tuh. sempurna.

treen said...

berarti dinasti sekarang lebih hebat dengan dinasti pendahulunya.

ArverneSter said...

ternyata politik juga merambah ke seni lukis.

papapam traffic said...

setuju gus..lukisan dan politik masing2 punya seni dan dua hal ini jgn sampai disatukan..ruwet jadinya

Hellen Werinusa said...

wah, pandangan yang tajam.... salut deh sama mas Gus..
saya jadi pengen mendengarkan isu politik yang baik?
mudah2an kedepannya menjadi lebih baik bukan tambah ruwet...

Seni.... dalam memang.

JuKIr said...

gk begitu senang dengan politik...heheh

Blogger Addicter said...

maaf br komenk yah suhu :(

walah, kok tumben suhu membahas lukisan yakkk, lom lagi liat pameran..weuhhh..

oiya, dokumentasi juga sambil cari bahan postingan..hehehe..

aduhhhh ujungnya hal yang saya benci suhu, politik...ndak suka ama politik tikusan..saling jegal saling apalah...hehehe

erwin said...

wah seni lukis digabung dengan politik..ada2 aja nie akang..:D

trimatra said...

menggabungkan antara seni, politik dan humanisme itu suatu talenta yang saat ini seudah semakin langka dimiliki seorang seniman.

paank Fachrezi said...

keetinggalaaan,
ketinggalaaan, paank keeetinggalaaaan,...
hu hu hu hu, maaf,....
aku gek KKN kang, saben dino gaweane njajah desa milang kori, ra tau mudhun kota. maap baru bisa absen,...

tiar said...

Thank's untuk infonya yang menarik. Ngomong2 lukisan hasil karya siapa nih..bagus loh

kRucIaL said...

seni ma politik...
menarik juga, kdang politik juga harus berseni yah mas, biar ga tau kalau nipu!!!

Hanif said...

Saya juga tertarik untuk mengikuti maupun melihat hasil karya seni lukis, tapi sebenarnya saya tidak bisa seni lukis :D

goresan pena said...

hehe, siapapun yang bersentuhan dengan politik...mungkin harus siap jadi "manusia tipe kadang-kadang"

nita said...

dr dulu seni kerap jadi watchdog bagi politik

zett said...

karena gak tahu seni yan senewen aja bacanya. apalagi politik tahunya banyak (poly) titik-titik.

septy said...

saya suka melihat lukisan, meski kadang tidak tau artinya :D

NAZA LUCKZANA said...

naza blank tentang politik tapi naza suka dengan peraturan KPU yang 20% itu. biar aja yang mudah meraih biarlah dia raih, tapi sebuah bangsa akan maju dengan kesulitan dan penderitaan, jika partai kecil mampu hadir melalui penekanan penekanan, maka dialah bibit unggul. karena derita ini tak ada seujung kuku dengan derita mbahku di kaki belanda dan jepang. seperti ayamku yang mengerami telurnya di bawah got, anaknya tak pernah mengenal arti flu burung. jago patenn mbah!!!

thevemo said...

mengkritik bisa lewat berbagai macam media..salah satunya ya melukis..kebanyakan dengan karikatur si

tyas said...

lukisannya kaya foto ya.. detail banget..
lukisan emang media yg pas banget untuk mengkritik sesuatu.. harusnya pamerannya di jkt tuh, di depan istana.. biar banyak yg 'tertohok'

richard said...

more hypocrite, more famous! dan kebanyakan orang menggemari itu ...

*sambil berkaca diri*

subagya said...

hmmm.... sanag menarik perilaku para pejabat itu yak wekekekekke

enhal said...

wah keren lukisannya, tapi oon buat mahaminya..hehehehehe...maklum ga nyeni saya kang suhu

Kaka said...

pejabat korup tidak sy sukai ..
http://asephd.co.cc

water hitter said...

Wah bagus juga gambarnya juga artikelmya. Terima kasih ya

Harry Seenthings said...

mas gus lama tak jumpa, wah tambah mantafffff templatenya

gasgus said...

Makanya tak salah kalau ada yg bilang, politisi atau elit politik di negeri ini lebih hebat dari aktor/aktris film atau sinetron.

Mereka mirip bunglon yang dalam sekejap bisa merubah wujudnya agar tujuannya tercapai.

Syalut buat orang-orang seniman seperti mas gus, mas fauhrizi dkk. Salam kenal mas.

franciska dyah said...

huff, masalah politik memang sering mengecewakan :(

Btw, pak ada award buat Pak Gus di blog saia,, diambil yaa... makasih.....

Regards,,

tyas said...

gak mau komen....
cuma mau ngerusui....

andi8lumut said...

Politik = kejam.. hehehe.. salam kenal.. .

cumie said...

jadi postingan ini...
owh.. cukup lama saya terdiam om, ternyata politik itupun hasil inspirasi yang di dapat dari lukisan karya pauhrizi. lukisan memang benar - benar egois dan seenaknya sendiri!

Kang Nur said...

banyak karya seni memang merupakan ekspresi ketertindasan politis

Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009 said...

setubuh dengan kang nur, dan emang gapapa kali hehe

Ngecrot said...

pagi om, numpang baca-baca nih :D

Foto Bugil said...

artikel yang sangat menarik bos, ajarin saya menulis seperti ini dong :D

Laptop Bekas said...

kurang 3 hari lagi, kita akan menggelar pemilu, jangan lupa pilih partai yg betul2 bersih, peduli dan profesional

Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009 said...

nepotisme ga akan pernah mati.. mau masuk pns aja musti saingan ma nepotisme

Bang Kritikus said...

kkn budaya bangsa ya

carissa putri said...

duh, kok ya aneh bin mbulet gitu tho..

Wisata Seo sadau said...

Mampir sore om, numpang baca2 nih

CD Tutorial said...

Begitulah politik, kata orang, tidak ada kawan abadi dan tidak ada musuh abadi dalam politik

Blogger Indonesia said...

Mungkin itulah yang menjadikan seni lukis berada di tempat paling atas dalam piramida seni. Yaitu kedalaman makna yang hampir tak bertepi..

Anonymous said...

hebat

indonesia said...

orang pintar penuh makna dalam hidupnya

Post a Comment