About me

Blog

11 March 2012

Benarkah Eko Tunas Seorang Seniman ?

knownledge dan sekedar menjadi find away to life, sebagaimana paradigma akademis dari Barat, meminjam istilah Amir Yasraf Piliang untuk menjawab pertanyaan itu maka saya pastikan, kita akan kesulitan untuk memahami dan mencari tahu posisi Eko Tunas dalam kesenian.

Mengapa? Karena, Eko Tunas lebih memandang seni sebagai essence of art . Sebagai manivesto kehidupan. Dan memfungsikannya untuk tujuan find away to make a living dan bukan sekedar alat untuk find away to live. Atau dengan kalimat yang lebih tegas, Eko Tunas mengambil esensi seni sebagai manivestasi kehidupan. Karena kehidupan adalah seni itu sendiri.

*****

Itulah sebabnya bukan hanya puisi, cuman cerpen, sekedar esai atau mung lukisan yang dihasilkan. Semua diciptakan. Sekaligus. Puisi, cerpen, esai, monolog, berteater, naskah drama, tata-panggung, lukisan, pamflet, film dan syair musik, semua digarapnya.Bukan lantaran ingin mengejar sebutan sebagai seniman serba bisa. Namun, lebih disebabkan karena karena alasan manivesto kehidupannya tak mungkin hanya diwakili oleh satu ‘instrumen’ saja.

Dia perlu menggunakan semua 'instrumen' seni tersebut untuk meresonansikan 'suara dalam kepala', atau untuk menarasikan 'diktum keyakinan'. Sebuah cara bermanivesto yang mirip dengan cara Raddin Abbas -Priyayi asal Residensi Kediri- yang belakangan dikenal sebagai Kyai Sadrach dan Ngabdollah atau Kyai Tunggul Wulung dalam sejarah keKristenan di Jawa pada pertengahan dan awal abad ke-18. Dan cara berkesenian yang mendekati cara Raden Said yang kemudian dikenali sebagai Sunan Kalijaga. Tokoh yang perjalanan spiritual dan thariqah tasawufnya sering dituturkan Eko Tunas di Suraukami.

*****

Kini, saya melihat bayangan anak priyayi kelahiran Tegal 18 Juli 1956 itu bergerak. Bekesenian. Berjalan dari kampung ke kampung tanpa lelah. Dengan cara bergerak yang masih seperti jaman mudanya. Kali ini pergerakan manusia paro baya yang bermadzhab ma'rifah, berwushul mahabbah dan berharakah ghiffariyah itu semakin kontstan.

*****

Seperti pergerakan seorang tokoh yang diceritakan Gunawan 'Puthu' Budi Susanto kepada saya. Tentang seorang tukang sapu di pinggir jalan yang sehari-harinya hanya menyapu guguran daun yang dijatuhkan oleh setiap pohon yang dirawatnya sejak muda. Sejauh apa pun daun kering yang dijatuhkan pohon-pohon peliharaannya itu ditiup angin. Sejauh itu pula dia menyapu.

Selalu menyapu setiap hari. Selama tujuh hari dalam seminggu. Tigapuluhan hari dalam sebulan. Dan sebanyak tigaratusan hari lebih dalam setahun. Tanpa jeda. Tanpa merasa lelah. Tanpa peduli panas hujan. Loyal pada pekerjaannya. Tanpa berharap upah dari pemerintah. Tulus. Bermakna mendalam. Karena menyapu, dan mengejar kemana sampah yang dijatuhkan pohon peliharaannya adalah bagian dari cara pengabdiannya pada Sang Maha Pemberi Kehidupan.

Jadi, masihkah perlu untuk mencari jawaban apakah Eko Tunas seorang Seniman atau bukan? Seorang Budayawan atau bukan?

Saya khawatir, kalau kita memaksakan diri untuk mencari jawaban, yang kita temukan justru mengarah pada kesimpulan lain. Bahwa Eko Tunas adalah seorang pegiat tasawuf, alias sufi. Atau bahkan jika disimulasikan, jangan-jangan jawaban yang paling kerap muncul adalah ini: Eko Tunas adalah seorang Kyai yang pesantrennya seluas kota yang pernah disinggahinya. Wallahu a'lam.

*****

Akhirnya, selamat bertasawuf dengan cara meng-iqro'-i kumpulan 'suara dalam kepala' dan 'teriakan hati-nurani' sekaligus 'diktum pemikiran' Eko Tunas yang terkumpul dalam Antologi Puisi Ponsel Di Atas Sprai kali ini. Semoga bahan tasawuf dari Eko Tunas berikutnya bisa segera dihadirkan. Nuwun.

*Ditulis Sebagai Pengantar Ulang Tahun Eko Tunas Ke-55, dan Sebagai official Prolog Suraukami untuk Antologi Puisi Ponsel Di Atas Sprai Eko Tunas

0 comments:

Post a Comment